22 Mei 2008

Saat Harus Menjadi Pasien

(Alhamdulillah artikel ini memenangkan lomba penulisan kategori kisah dalamrangka ulang tahun majalah Dokter Kita Yang ke-2, Maret 2007)

Putraku baru berusia 8 tahun ketika peristiwa itu terjadi. Aku ingat betul, hari itu Jum’at siang sekitar jam 14.00 WIB. Putraku berpamitan pergi mengaji di mesjid dekat rumah. Sambil menunggu jadwal praktek sore, aku berbaring menidurkan putri ke duaku. Belum lima menit rasanya aku merebahkan badan, dari kejauhan kudengar suara anak-anak berteriak gaduh. Mereka menggedor-gedor pintu pagar sambil memanggil”
”. Tante…tante ………., Leo tabrakan ! “ teriak mereka berbarengan. Tubuhku seketika kelu. Jantungku berdebar keras. Aku melompat menemui teman-teman anakku. Dengan masih memakai daster, dan tanpa alas kaki, aku berlari mengikuti anak-anak yang menunjukkanku tempat anakku mengalami kecelakaan.

Diturunan jalan dipinggir komplek, kulihat anakku menjerit keras sambil memegang kaki kirinya. Dia di kelilingi beberapa orang yang berusaha mengangkatnya ke dalam mobil yang kuduga baru menabrak anakku. Kudekap anakku erat. Kuraba kaki kiri yang dari tadi dipegangnya erat-erat. Sudah tidak simestris lagi. Paha kirinya patah. Tanganku gemetar. Kepalaku mendadak pusing. Sekuat tenaga aku tahan supaya tidak menangis. Sebagai dokter aku memang sudah terbiasa melihat berbagai akibat kecelakaan, tapi saat ini yang mengalaminya anakku sendiri dan ini sungguh memilukan hati.

Dengan tenaga yang tersisa aku minta tolong orang-orang yang ada membawa anakku ke rumah kami. Aku berusaha memfixasi kaki anakku dengan papan dan perban sebelum membawanya ke rumah sakit dengan diantar tetangga karena suamiku sedang diluar kota.

Diperjalanan anakku masih mengerang kesakitan. Dengan air mata berlinang aku peluk kepalanya didadaku. Aku berusaha menenangkannya. Dengan berbagai pertimbangan, aku langsung membawa anakku ke sebuah Rumah Sakit Darurat Bedah. Tapi perjalanan kesana terasa semakin panjang dan membuat dadaku tambah sesak. Jalanan macet karena saat itu sedang ramai – ramainya kampanye menjelang pemilu.

Sesampai di rumah sakit, anakku ditangani di Unit Gawat Darurat. Setelah dirontgen photo, dokter yang bertugas segera merujuk anakku kespesialis orthopaedi. Ketika spesialis orthopaedinya datang, sepintas aku ingat, bahwa beliau satu almamater denganku dulu. Karena berbeda angkatan, kami tidak saling kenal. Hanya saja waktu aku coasistensi, beliau sering jaga malam sebagai residen bedah. Jadi aku hapal wajahnya.

Setelah memeriksa anakku, beliau segera memanggilku. Beliau menerangkan tindakan apa yang akan dilakukan pada anakku. “Kalau ibu setuju kita akan lakukan operasi pemasangan pen,” ujarnya sambil menunjukkan rontgen paha kiri anakku yang patah. Disaat mendiskusikan tindakan terhadap anakku itu, akhirnya dokter spesialis orthopaedi tahu, kalau aku tenaga kesehatan juga.

Karena anakku harus disiapkan untuk operasi, maka diputuskan operasi akan dilakukan keesokan harinya dan aku juga harus menunggu dulu kedatangan suamiku dari luar kota.

Malam harinya, ketika anakku sudah agak tenang di ruangan. Masalah lain timbul, sebagaian besar keluarga yang datang, tidak setuju anakku dioperasi. Mereka bilang anakku masih terlalu kecil, ngeri membayangkan anak sekecil itu di operasi. Apalagi operasi mahal. Lebih baik dibawa ke dukun kampung supaya diurut saja.

Ditengah himpitan berbagai saran , aku semakin pusing. Ketika suamiku datang, aku tahu dia juga tergoda untuk membawa anak kami ke dukun patah tulang saja. Mungkin karena desakan keluarga disertai dengan contoh-contoh kasus yang katanya berhasil dengan diurut, juga karena faktor biaya operasi orthopredi yang memang tinggi. Walaupun sama-sama bekerja, tabungan kami tidak begitu besar untuk bisa menutupi biaya operasi itu. Sementara orang yang menabrak anakku, menolak ikut membiayai operasinya.

Kucoba berbicara berdua dengan suamiku. Bagaimanapun dia putra kami, kami yang paling bertanggungjawab. Keputusan kami dioperasi atau tidak, akan berakibat panjang untuk masa depan anakku. Aku mencoba menerangkan pada suamiku, apa kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi bila anak kami tidak segera di operasi. Sungguh aku tidak bisa membayangkan bila setelah di urut, kaki anakku malah jadi bengkok, sedangkan faktor yang menghambat operasi hanya segi materi, saja yang mudah-mudahan Allah menolong kami mencari penyelesaiannya.

Akhirnya aku dan suami mencapai kata sepakat. Putra kami akan di operasi saja. Kami berterima kasih pada keluarga atas perhatiaannya. Namun dengan ramah kami jelaskan bahwa demi kebaikan anak kami, kami memilih operasi. Untungnya keluarga mengerti dan menyerahkan semua keputusan kepada kami.

Dimalam menjelang operasi disaat anakku sudah bisa tidur, sambil mengusap kepala anakku, air mataku masih saja menitik. Keputusan operasi memang sudah diambil. Tapi aku masih belum tahu, kemana kami akan mencari tambahan uang bila ternyata tabungan kami tidak mencukupi. Saat itu aku benar-benar dapat merasakan beban keluarga-keluarga pasien yang ingin orang yang dicintai sembuh, namun kendala biaya menahannya. Rasanya sedih sekali. Menjelang subuh barulah aku bisa memejamkan mata sejenak sambil bersandar di kursi disamping tempat tidur anakku. Aku memasrahkan semua kepada kekuasaan Allah.

Operasi berjalan lancar. Setelah dua hari di rumah sakit, anakku di izinkan pulang. Dengan hati was-was aku menanyakan perawat berapa biaya perawatan dan operasi anakku. Aku masih khawatir uang kami tidak cukup. Tapi sungguh diluar dugaan, Allah Maha Besar ternyata dokter spesialis orthopaedi yang merawat anakku menulis “PRODEO” dikartu statusnya yang berarti dia menggratiskan biaya konsultasi dan operasi anakku. Kami hanya harus membayar obat dan perawatan saja yang jumlahnya jauh dibawah dugaanku. Aku terharu sekali. “Uangnya belikan tongkat untuk Leo saja,” kata beliau ketika aku datang untuk berterima kasih dan menanyakan upaya perawatan anakku selanjutnya.

Tujuh bulan berikutnya anakku tetap dirawat gratis sampai operasi pembukaan pen oleh spesialis orthopaedi yang budiman itu. Sekarang anakku sudah berlari lagi seperti anak-anak seusianya. Kalaupun ada sisa, hanyalah bekas luka sepuluh sentimeter yang memanjang di paha kirinya.

Walau disumpah hypocrates, semua dokter wajib mengucapkan bahwa akan memperlakukan sesama teman sejawat seperti saudara kandungnya sendiri, namun perlakuan spesialis orthopaedi yang merawat anakku jauh merasuk kedalam hatiku. Dan itu membuatku mengalami perubahan yang begitu banyak dalam memperlakukan pasien-pasienku di kemudian hari. Aku jadi lebih bisa bersyukur, Allah telah mentakdirkanku mejadi dokter, sehingga punya cara yang lebih banyak dan luas untuk menolong orang tidak hanya dengan uang tapi juga dengan tenaga dan pikiran .

Untuk seorang spesialis orthopaedi, biaya operasi anakku mungkin nilainya tidak seberapa artinya. Tapi untukku, itu berarti masa depan anakku yang tidak bisa dinilai dengan apapun.(YL)

Bandung, 26 Desember 2006
Untuk teman sejawat yang telah menunjukkan cara seharusnya menjadi seorang dokter. Semoga Allah selalu melindungimu.